Pada malam ke-14 Bulan
Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada
Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa
ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya,
lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang
dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar
masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha
Kuasa.
Upacara
Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara
Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul
24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan
pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam
bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkawinan dll.
Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan
membacakan mantra-mantra.
Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang
berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka
melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek
moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang
tinggaldipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan
tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka
mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji
berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya
sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan
pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada
dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.
Menurut ceritera, asal mula
upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu. Pada masa pemerintahan Dinasti
Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Sang permaisuri dikaruniai seorang anak
perempuan yang diberi nama Roro Anteng, setelah menjelang dewasa sang putri
mendapat pasangan seorang pemuda dari kasta Brahma bernama Joko Seger.
Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran
dan bersamaan mulai menyebarnya agama Islam di Jawa, beberapa punggawa kerajaan
dan beberapa kerabatnya memutuskan untuk pindah ke wilayah timur, dan sebagian
menuju di kawasan Pegunungan Tengger termasuk pasangan Rara Anteng dan Jaka
Seger.
Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun
pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa
Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman".
Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger.
Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur
atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi. Dari waktu ke waktu
masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa
bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger
berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk
naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada
Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa
semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan
keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan
Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang
putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan
putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji,
Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian
terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan
api.
Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan
terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah
suara gaib :"Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh
orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua.
Hiduplah damai dan
tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada
pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo.
Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap
tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.
Upacara ini berlokasi disebuah pura yang berada dibawah kaki gunung bromo. Dan
setelah itu dilanjutkan kepuncak gunung Bromo. Upacara dilakukan pada tengah
malam hingga dini hari setiap bulan purnama dibulan Kasodo menurut penanggalan
Jawa.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar